SURABAYA – Tak bisa dipungkiri, kemajuan zaman berdampak pada bertumbuhnya model pengelolaan keuangan atau investasi dengan gaya baru. Dulu, masyarakat disuguhi dengan model investasi yang cenderung tidak beragam, seperti deposit, hingga investasi pada bidang properti. Kini, masyarakat dapat berinvestasi dengan bantuan teknologi bahkan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat daripada investasi konvensional yang selama ini lumrah ditengah masyarakat, salah satunya pada cryptocurrency.
Pada dasarnya, cryptocurrency merupakan mata uang digital yang memiliki enkripsi (kode rahasia, red) dan bersifat desentralisasi. Semua transaksi yang kita lakukan akan tercatat rapi dan terpusat melalui teknologi blockchain.
Maraknya teknologi tersebut, bukannya tanpa catatan. Sebagai sistem ekonomi yang mulai dilirik masyarakat, Ekonomi Islam berusaha untuk mengamati dan mencermati teknologi tersebut. Sistem ekonomi yang memegang perinsip berkeadilan dengan melarang perjudian, spekulasi dan riba itupun memastikan tidak ada masyarakat yang dirugikan serta dilaksanakan sesuai hukum islam.
Pada Rabu (27/4/2022), Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga (UNAIR), Bayu Arie Fianto PhD, menuturkan bahwa legalitas cryptocurrency sebagai alat pembayaran maupun instrumen investasi masih dipertanyakan. Hal itu tentunya menjadi catatan tersendiri ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menempelkan hukum haram kepada cryptocurrency baik penggunaannya sebagai mata uang maupun aset digital.
“Unsur spekulasinya sangat tinggi, sehingga bisa mengakibatkan adanya kerugian ketika kita berinvestasi disitu (Cryptocurrency, red), ” tutur Bayu.
Selain itu, ia pun menuturkan bahwa instrumen investasi harus dipastikan memiliki Underlying Asset atau aset dasar sebuah investasi. Menurutnya, fungsi uang bukanlah alat spekulasi, melainkan sebagai alat tukar, alat penyimpan kekayaan, dan untuk mengukur kekayaan.
Ekonomi Islam dan Perkembangan Zaman
Baca juga:
Pengertian Blog, Struktur Umum dan Jenisnya
|
Bayu pun menuturkan bahwa Ekonomi Islam bukanlah sistem ekonomi yang kaku sehingga tidak relevan dengan perkembangan zaman. Baginya, perkembangan zaman tetaplah harus diikuti, namun tetap mengedepankan syariat (hukum, red) yang berlaku. Ekonomi Islam pun berusaha melindungi harta masyarakat dengan tidak memperbolehkan unsur ketidakpastian dalam investasi.
“Kasus-kasus affiliator yang baru ini. Nah, itukan juga (terdapat, red) unsur penipuan dan penggorengan oleh suatu komoditi tertentu untuk investasi ya, ” ujar Alumnus Lincoln University, Selandia Baru, saat menyinggung fenomena affiliator yang banyak merugikan masyarakat.
Dalam memandang fatwa MUI, ia pun berpendapat bahwa fatwa tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat bukan untuk membatasi. Menurutnya, fatwa tersebut bersifat fleksibel dan dapat berubah di lain waktu ketika dirasa sudah sesuai dengan syariah.
“Fatwa tersebut bisa benar, bisa salah. Namun kalau misalnya ulama sudah berfatwa, itu salah pun mendapat nilai satu dan kalau benar dapat nilai dua, ” tutupnya. (*)